Rabu, 20 Juni 2012

MAKALAH ASKEP PERSARAFAN '' Guillain Barre’ Syndrome '' GBS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal. 

1.2 Rumusan Masalah
Ω  Bagaimana konsep dasar penyakit?      Ω  Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan?
- Pengertian                                                       - Pengkajian
- ETIOLOGI                                                          - Diagnosa keperawatan
- PATOFISIOLOGI                                               - Intervensi
- Insiden                                             
- Manifestasi Klinis
- Pemeriksaan Diagnostik
- Diagnosa Banding
- Komplikasi
- Penatalaksanaan medis

1.3 Tujuan
Tujuan dan maksud dari pembutan makalah ini, adalah:  kami bermaksud membahas dan berbagi pengetahuan  tentang  ” GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS” seperti yang tertera pada rumusan masalah di atas. Kami bertujuan & berharap semoga makalah ini dapat menjadi referensi dan berguna bagi para pembaca dan khususnya bagi mahasiswa FIK Unmuh Ponorogo, serta kalangan medis lainya. Sehingga kita  mengerti, memahami, serta menambah pengetahuan kita tentang ” GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS” Serta penanganannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1 Pengertian
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial yang  Etiologinya tidak diketahui. ( Hudak & Gallo: 287)

Guillain Bare’ Syndrom adalah Gangguan degeneratif  terkomplikasi yang sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan atas ringan. (Lynda Juall C: 298)

Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara. ( Doenges:369)

2.2 Etiologi
Etiologi / Penyebab Guillain Bare’ Syndrom tidak jelas/ tidak diketahui. Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparapa proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini.

2.3 Patofisiologi
Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cidera karena banyak agen dan kondisi, termasik trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merudikan ini. Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat di banding akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terganggu dalam selaput ( Nodus Ranvier ) tempat kontak- langsung antara membran sel akson dengan cairan eksraseluler.Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik.
 Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier ( Gbr. 31-9) sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi, dan trasnmisi impuls saraf dibatalkan.
Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi meliputi imflamasi, demielinasi dari saraf perifer, kehilangan badan granular, dan degenarasi membaran basalis sel Swhann, mengakibatkan paralisis flaksid simetrik asenden dan kehilangan funsi saraf kranial. ( Murray,1993)  

2.4 Insiden
Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasan-kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.

2.5 Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat. Ada pasien yang mengalami nyeri tekan dan nyeri pada tekanan dalam atau gerakan beberapa otot. Gejala-gajala parastesia termasuk semutan ” jarum dan peniti ” dan kebas dapat terjadi secra sementara, jika saraf kranial terkena, maka maka saraf fasial ( VII) lebih sering terserang. Tanda dan gejala disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan dalam tersenyum , bersiul, atau cemberut. GBS tidak mengenai LOC ( tingkat kesadaran ), tanda –tanda pupil, atau fugsi serebral. Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu minngu, tatapi dapat berkembnag selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja terhenti setiap saat. Fugsi motorik kembali dalam gaya desending. Demielinasi terjadi dengan cepat, tetapi kecepatan remielinasi sekitar 1 sampai 2 mm perhari. 

2.6 Pemeriksaan dan Diagnostik
1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus
- perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti kelumpuhan progresif, > 1    tungkai, simetris, menjalar ke lengan (asenderen)
2. Pemeriksaan Neurologis :
 - kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal
 - simetris
 - gejala motorik lebih nyata daripada sensorik
3. Pada Lumbal Pungsi :
- didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin) à   pada minggu II
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
   - penurunan kecepatan hantar saraf  /lambatnya laju konduksi saraf
5. Darah Lengkap
    - Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
6. Foto ronsen
- Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan ,   seperti atelektasis, pneumonia.
7. Pemeriksaan fungsi paru
- Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan   inspirasi

2.7 Diagnosa Banding
1. Polineuropathy karena defisiensi                3. Myasthenia Gravis
2. Hipokalemi

2.8 Komplikasi
-          Gagal pernapasan
-          Penyimpangan Kardiovaskuler
-          Komplikasi Plasmafaresis

2.9 Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
-          Dukungan Pernapasan
Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mngkin di butuhkan ventilasi mekanik. Mungkin Perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat di sapih dari ventilator dalam beberapa minngu. Gagal pernapasan harus di antisipasi sampai kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.
-          Dukungan Kardiovaskuler
Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah ( hipotensi dan hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati dengan cepat. Gangguan saraf otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk, sucsioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan secara hati-hati.
-          Plasmafaresis
Untuk menyingkirkan antibidi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bhan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma digantikan dengan yang normal atau dengan pengantri koloidal.
-        IVIg  = Intra Venous Immunoglobulin dosis tinggi (0,4 mg/kg BB / hari selama
5-7 hari
-          CSFF = Cerebro Spinal Fluid Filtration






B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda  :             Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris)
               Cara berjalan tidak mantap
SIRKULASI
Tanda  :  Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi )
               Disritmia, takikardia/bradikardia
               Wajah kemerahan, diaforesis
INTEGRITAS/EGO
Gejala  :  Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda  :  Tampak takut dan binggung
ELIMINASI
Gejala  :  Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda  :  Kelemahan otot-otot abomen.
               Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih dan refleks sfingter.
MAKANAN DAN CAIRAN
Gejala  :  Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda  :  Gangguan pada refleks menelan  
NEUROSENSORI
Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya    terus naik
               Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
               Perubahan ketajaman penglihatan.
Tanda  :  Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam.
               Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan.
               Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata-                ( keterlibatan saraf kranial)
               Kehilangan kemampuan untuk berbicara


NYERI/KENYAMANAN
Gejala  :  Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu, pelvis, pinggang , punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan.
PERNAPASAN
Gejala  :  Kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda  : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya   bunyi napas.
               Menurunnya kapasitas vital paru
               Pucat/sianosis
               Gangguan refleks menelan/batuk
KEAMANAN
Gejala  :  Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas ) kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda seangan.
               Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus.
         Tanda  :  Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ).
                        Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia.
INTERAKSI SOSIAL
         Tanda  :  Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

II. PRIORITAS KEPERAWATAN
1.        Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.
2.        Meminimalkan/mencegah komplikasi.
3.        Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.
4.        Mengendalikan/menghilangkan nyeri.
5.        Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
2.    Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
3.    Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
4.    Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
5.    Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.
6.    Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestisia )
7.    Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
8.    Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
9.    Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

IV. INTERVENSI
Diagnosa 1
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis; (   kontraktur, kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD.
   Intervensi:
1.    Pertahankan ROM sendi.
2.    Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur.
3.    Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi.
4.    Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam.
5.    Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik.
6.    Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat menigkatkan demielinasi.
7.    Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter.
8.    Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.

Diagnosa 2
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
Tujuan / Kriteria Hasil :
            Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.


Intervensi:
1.    Auskultasi bunya napas dengan teratur.
2.    Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri.
3.    Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.
4.    Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak.
5.    sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas.
6.    Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas.
7.    Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas )
8.    Catat AGD dan perhatikan kecenderungan.
9.    Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal tersebut akan diperlukan.
10. Pasang alrm ventilator.

Diagnosa 3
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada.
Intervensi:
1.    Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural, Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2.    Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.
3.    Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.
4.    Catat masukan dan haluaran.
5.    Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur.
6.    kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi. 
7.    Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum.
8.    Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan interval tertentu.




Diagnosa 4
Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori
Mempertahankan mental/orientasi umum.
Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori.
Intervensi:
1.    Pantau status neurologis secara periodik
2.    Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara.
3.    Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal )
4.    Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan, dan berikan aktivitas lain sesuai dengan kemampuan.
5.    Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi ( berita/pertujukkan ) bercakap-cakap santai.
6.    Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien untuk memlihara keterikatan.

Diagnosa 5
Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Rutinitas BAB pasien dipertahankan sama seperti sebelum dirawat, dan konstipasi tidak terjadi
Intervensi:
1.    Pastikan hidrasi adekuat; catat masukan dan haluaran.
2.    Berikan pelunak feses atau suppositoria sesuai indikasi.
3.    Waktu melakukan gragam usus untuk menghasilkan penggunaan refleks gastrokolik setelah makanan.
4.    Baringkan pasien dalam posisi tegak untuk melakukan eliminasi.



Diagnosa 6
Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestesia )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol
Mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri.
Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
1.    Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman dengan mengunakan skala nyeri 0-10
2.    Observasi tanda-tanda nonverbal dari nyeri mis ( wajah tampak menahan  skit, menarik diri/menangis.
3.    Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan.
4.    Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhn sesuai toleransi pasien.
5.      Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau selimut.
6.    Berikan latihan rentang gerak pasif
7.    Instruksikan/anjurkan untuk mengunakan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing.
8.    kolaborasi obat analgesik sesuai kebutuhan.

Diagnosa 7
Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan pengosongan kendung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius.
Intervensi:
1.    Ctat frekuensi dan jumlah berkemih.
2.    Lakukan palpasi abdomen ( di atas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
3.    Anjurkan pasien intuk minum paling tidak 2000ml/dalam batas toleransi jantung.
4.    Lakukan menuver Crede.
5.    Kolaborasi kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan.
6.    Pasang/pertahankan kateter indweling sesuai kebutuhan.
 Diagnosa 8
Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi.
Intervensi:
1.    Kaji kemmpuan untuk mengunyah, menlan, batuk, pada keadaan teratur.
2.    Auskultasi bising usus evaluasi adanya distensi abdoman.
3.    Cata masukan kalori setiap hari.
4.    Berikan makan setengah padat/cair usahakan yang disukai pasien.
5.    Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan, dan berikan bantuan bila pasien membutuhkan
6.    Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi
7.    Timbang berat badan setiap hari.
8.    Kolaborasi pemberian diet TKTP
9.    Pasang/pertahankan selan NGT berikan makanan enteral/parenteral.
 
Diagnosa 9
Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dan keluarga akan mengungkapkan pengetahuan yang sesuai dengan keadaannya.
Menerima dan mendiskusikan rasa takut.
Mendemostrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
Intervensi:
1.    Biarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya.
2.    Dorong pasien untuk mengajukan pertanyaan dan bersiaplah untuk memberikan penjelasan.
3.    Buat jadwal sehinnga pasien mengetahui perawat akan memeriksanya secara teratur sesuai kebutuhan.
4.    Kurangi gangguan sensori dengan berbicara pada pasien dan melibatkan keluarga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal. 
Insiden
Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasan-kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.
Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan dan Diagnostik
1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus                  6. Foto ronsen
2. Pemeriksaan Neurologis                             7. Pemeriksaan fungsi paru
3. Pada Lumbal Pungsi :
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi)
5. Darah Lengkap
Komplikasi
-          Gagal pernapasan                          - Komplikasi Plasmafaresis
-          Penyimpangan Kardiovaskuler
Penatalaksanaan Medis
-          Dukungan Pernapasan
-          Dukungan Kardiovaskuler
-          Plasmafaresis
-    IVIg
-    CSFF

PRIORITAS KEPERAWATAN
1.      Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.
2.      Meminimalkan/mencegah komplikasi.
3.       Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.
4.       Mengendalikan/menghilangkan nyeri.
5.       Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.        Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
2.        Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
3.        Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
4.        Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
5.        Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.
6.        Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler                 ( parastesia, disestisia )
7.         Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
8.        Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
9.        Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.




DAFTAR PUSTAKA

1. Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan  Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC

2. Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC

3. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:  EGC

4. Robin, dan Kumar. 1995. Patologi 2. Ed 4. Jakarta: EGC

5.  Http//www.Perawatpsikiatri.blogspot.com
  











Tidak ada komentar:

Posting Komentar