PEMBERIAN SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR
DENGAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
ABSTRACT
Respiratory
Distress Syndrome ( RDS )
occurs in 5-10% of preterm infant, and 50% of infant with birth weight between
501 and 1500 gram ( lemons et al, 2001). The incidence is inversely
proportional to the gestational age and birth weight.
Surfactant is a surface
active material and it can be given as prophylactic treatment or rescue
treatment. As prophylactic
treatment administered for preterm
infants less than 1250 grams as soon after birth, and rescue treatment is
when the surfactant given for preterm
infant with surfactant deficiency which one in Respiratory
Distress Syndrome ( RDS )
ABSTRAK
Respiratory
Distress Syndrome ( RDS )
didapatkan sekitar 5 -10% pada bayi
kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (lemons et al,2001).
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan.
Surfaktan adalah suatu senyawa bahan kimia
yang mempunyai sifat permukaan aktif. Surfaktan dapat diberikan sebagai
profilaksis dan terapi. Sebagai profilaksis diberikan pada bayi prematur kurang
dari 30 minggu dengan berat badan kurang dari 1250 gram yang diberikan segera
setelah lahir. Sebagai terapi diberikan untuk bayi dengan defisiensi surfaktan,
salah satunya pada bayi dengan Respiratory
Distress Syndrome ( RDS )
PENDAHULUAN
Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan
defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang.1,2,3Manifestasi
dari RDS disebabkan adanya
atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan
bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.
Penyebab terbanyak dari
angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10% didapatkan
pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (lemons et
al,2001). Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan
menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2000). Saat
ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.4,5 Defisiensi surfaktan diperkenalkan
pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di
bidang kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan
ventilator dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji
coba klinik penggunaan surfaktan buatan (Willkinson,1985), surfaktan dari cairan amnion manusia ( Merrit,1986),
dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine (Enhoring,1985) dapat
dipertanggungjawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai
pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada
bayi yang disebabkan adanya defisiensi
atau kerusakan surfaktan.3,4
BAYI
PREMATUR
Bayi prematur adalah bayi
yang dilahirkan dalam usia gestasi kurang dari 37 minggu., Secara fisiologis,
kondisi bayi prematur adalah sebagian masih sebagai janin dan sebagai bayi baru
lahir. 9Bayi pematur yang dilahirkan dalam usia gestasi <37
minggu mempunyai resiko tinggi terhadap pernyakit-penyakit yang berhubungan dengan
prematuritas, antara lain sindroma gangguan pernafasan idiopatik (penyakit
membran hialin), aspirasi pneumonia karena refleksi menelan dan batuk belum
sempurna, perdarahan spontan dalam ventrikel otak lateral, akibat anoksia otak
(erat kaitannya dengan gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia, karena fungsi
hati belum matang), hipotermia.7-9
2.1.
Komplikasi prematur7,8 ,9
Kebanyakan komplikasi yang terjadi
pada bayi prematur adalah yang berhubungan dengan fungsi imatur dari sistem
organ. Komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi meliputi :
- Paru-paru
Produksi surfaktan seringkali tidak
memadai guna mencegah alveolar collapse dan
atelektasis, yang dapat terjadi
Respitarory Distress Syndrome.
- SSP
( Susunan syaraf pusat)
Disebabkan tidak memadainya koordinasi
refleks menghisap dan menelan, bayi yang lahir sebelum usia gestasi 34 minggu
harus diberi makanan secara intravena atau melalui sonde lambung. Immaturitas
pusat pernafasan di batang otak mengakibatkan apneic spells (apnea sentral).
c. Infeksi
Sepsis atau meningitis
kira-kira 4X lebih berisiko pada bayi prematur daripada bayi normal.
d. Pengaturan suhu
Bayi prematur mempunyai
luas permukaan tubuh yang besar dibanding rasio masa tubuh, oleh karena itu ketika
terpapar dengan suhu lingkungan di bawah netral, dengan cepat akan kehilangan
panas dan sulit untuk mempertahankan suhu tubuhnya karena efek shivering pada prematur tidak ada
- Saluran
pencernaan (Gastrointestinal tract).
- Volume
perut yang kecil dan reflek menghisap dan menelan yang masih immatur pada
bayi prematur, pemberian makanan melalui nasogastrik tube dapat terjadi risiko
aspirasi.
f. Ginjal
Fungsi ginjal pada bayi
prematur masih immatur, sehingga batas konsentrasi dan dilusi cairan urine
kurang memadai seperti pada bayi normal.
g. Hiperbilirubinemia
Pada bayi prematur bisa
berkembang hiperbilirubinemia lebih sering daripada pada bayi aterm, dan
kernicterus bisa terjadi pada level bilirubin serum paling sedikit 10mg/dl (170
umol/L) pada bayi kecil, bayi prematur yang sakit.
h. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan
penyebab utama kerusakan otak pada periode perinatal. Kadar glukosa darah kurang
dari 20 mg/100cc pada bayi kurang bulan atau bayi prematur dianggap menderita
hipoglikemia.
I. Mata
Retrolental fibroplasia,
kelainan ini timbul sebagai akibat pemberian oksigen yang berlebihan pada bayi
prematur yang umur kehamilannya kurang dari 34 minggu. Tekanan oksigen yang tinggi dalam arteri akan merusak
pembuluh darah retina yang masih belum matang (immatur).
2.2.
Mekanisme imunologi kelahiran prematur
Telah
disebutkan bahwa banyak faktor-faktor yang menyebabkan kelahiran prematur,
yaitu : nutrisi yang buruk, pecandu alkohol, perokok, infeksi, ketuban pecah
prematur, multipel gestasi, gangguan koagulasi, solusio plasenta. Faktor2
tersebut terjadi karena adanya inflamasi pada plasenta yang diinduksi oleh proinflamatory cytokines
sehingga terjadi gangguan pada fetus yang disebabkan innate immune system10
Suatu mekanisme imunologi yang menjaga
agar fetus dalam keadaan aman adalah
dengan meregulasi kadar cytokine pada plasenta. Beberapa literatur menyebutkan
bahwa produksi proinflamatory cytokines
yang berlebihan pada plasenta ,
seperti Interleukin (IL)-1β, Tumor
Necrosis Factor (TNF)-, dan Interferon (IFN)- sangat berbahaya pada
kehamilan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa IL-10 yang terdapat pada
plasenta merupakan cytokine yang
penting karena dapat menekan produksi proinflamatory cytokines yang diproduksi sel lain.
Imunomodulator
yang berperan pada pertahanan fetus adalah progesteron yang terdapat pada
plasenta dengan cara menghambat mitogen-stimulated
lymphocyte proliferation , meningkatkan survival
time, mengatur produksi antibodi, menurunkan produksi monosit yang
berlebihan, mengurangi produksi proinflamatory
cytokines oleh makrofag yang
merupakan hasil produksi bakteri dan perubahan sekresi cytokines
dari T-cell ke IL-10. Mekanisme
tentang peran progesteron sebagai imunomodulator pada jaringan reproduksi masih
belum jelas tapi terlibat secara langsung dan tidak langsung pada proses immune cell .10,11
Gambar.1.
Alur biokimia terjadinya kelahiran
prematur. ( Dikutip dari Peltier.RM. Immunology of term and preterm
labor. In: Reproductive Biology and Endocrinology 2003)
2.3.
Perkembangan Paru Normal 13,14
Perkembangan paru normal
dapat dibagi dalam beberapa tahap (tabel 1). Selama tahap awal embryonik paru2
berkembang diluar dinding ventral dari primitive foregut endoderm. Sel epithel
dari foregut endoderm bergerak di sekitar mesoderm yang merupakan struktur
teratas dari saluran napas.
Tabel 1. Tahap pertumbuhan paru
|
Waktu (minggu)
|
Embryonic
|
3 -
7
|
Canalicular
|
7-16
|
Pseudoglandular
|
16-26
|
Saccular
|
26-36
|
Alveolar
|
36 weeks-2 years
|
Postnatal growth
|
2 - 18 tahun
|
(Dikutip dari : Kotecha.S. Lung growth:
implications for the newborn infant. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2000)
Selama tahap canalicular yang terjadi
antara 16 dan 26 minggu di uterus, terjadi perkembangan lanjut dari saluran
napas bagian bawah dan terjadi pembentukan acini primer. Struktur acinar
terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter.
Perkembangan intracinar capillaries yang berada disekeliling mesenchyme,
bergabung dengan perkembangan acinus. Lamellar bodies mengandung protein
surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte type II ,dapat ditemui dalam acinar
tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara pneumocyte tipe I terjadi bersama
dengan barier alveolar-capillary.
Fase
saccular dimulai dengan ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang
merupakan dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan
peningkatan pertukaran gas pada area permukaan. Lamellar bodies pada sel type
II meningkat dan maturasi lebih lanjut terjadi dalam sel tipe I.
Kapiler-kapiler sangat berhubungan dengan sel tipe I , sehingga akan terjadi
penurunan jarak antara permukaan darah dan udara
Selama
tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi 36
minggu sampai 24 bulan setelah lahir. Septa sekunder terdiri dari penonjolan
jaringan penghubung dan double capillary loop.13,14,15 Terjadi
perubahan bentuk dan maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding
alveoli dan dengan cara apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi single
capillary loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel .
Sel-sel mesenchym berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler yang
diperlukan. Sel-sel epithel khususnya pneumocytes tipe I dan II, jumlahnya
meningkat pada dinding alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam
septa sekunder dengan cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari
double capillary loop menjadi single
capillary loop. Perkiraan jumlah
alveolus pada saat lahir dengan menggunakan rentang antara 20 juta – 50 juta
sudah mencukupi. Pada dewasa jumlahnya akan bertambah sampai sekitar 300 juta.
2.4.
Tes Kematangan Paru
Tes yang dipercaya saat
ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan Paru yang
biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah
terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai
tes biokimia dan biofisika.18,19
- Tes Biokimia
(Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin
berhubungan dengan cairan amnion, maka
jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi
surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio
lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.
Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck
dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi
tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin dibandingkan Sfingomyelin
ditentukan dengan thin-layer
chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan
pelarut organik, ditentukan dengan chromatography dua dimensi; titik lipid
dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau kontak dengan uap iodine.
Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan
fosfor organik dari lesithin dan sfingomyelin.18,19
Sfingomyelin
merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non
spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan
normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara
bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada
usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S
> 2. Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil
yang sama. Suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga absolut rasio
L/S bayi immatur dapat memprediksi
perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor untuk
kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan. Dengan melihat umur
gestasi, ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya
hari pemberian bantuan pernapasan.
Adanya
mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang
dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau
sfingomyelin, tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang
susunannya mirip lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.
b. Test Biofisika :
1. Shake test diperkenalkan pertamakali oleh
Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid
yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan
amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh
unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak
bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1
ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan
amnion : ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan
normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS
. 1,5,18,19,20
2. TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip tehnologi polarisasi
fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur mikroviskositas dari
agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio surfaktan-albumin. Tes
ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada albumin dan surfaktan dalam
cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah albumin maka jaring polarisasi
nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan maka nilainya rendah. Dalam
cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis
rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan
maturasi paru janin. Menurut referensi yang digunakan oleh Brigham and Women’s
Hospital, dikatakan immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59 mg/dl;
dan matur bila lebih atau sama dengan 60 mg/dl. Bila terkontaminasi dengan
darah atau mekonium dapat menggangu interpretasi hasil test.1,18
Gambar 3. Shake Test
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan
kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap
dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran
infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti
vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.Sedangkan
menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila
ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan
paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ
non pulmonar.Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada
infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal ≤ 18mmHg dan
tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan
paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat
napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS .21
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan
sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli
sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya
sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan
takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi
dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah
lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu : Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan
sedikit bronchogram udara, Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada
kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan
meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi
paru. Stadium 3. Kumpulan alveoli yang
kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan
bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. Stadium 4.
Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat1,2,21,24,44
3.2.
Patofisiologi Respiratory
Distress Syndrome
Faktor2
yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada
alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun
25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi
hipoksemia berat, hipoventilasi yang
menyebabkan asidosis respiratorik2,3,24
Telah diketahui bahwa surfaktan
mengandung 90% fosfolipid dan 10%
protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
agar alveoli tetap mengembang.
Secara makroskopik, paru-paru tampak
tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu
paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal
menyebabkan edem interstisial dan
kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel
alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik
karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang
progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan
kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal
sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran
hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.
Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72 jam setelah
lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan
mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Gambaran
radiologi tampak adanya retikulogranular
karena atelektasis,dan air bronchogram
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah :
-
Takipnea
diatas 60x/menit
-
Grunting
ekspiratoar
-
Subcostal
dan interkostal retraksi
-
Cyanosis
-
Nasal
flaring
Pada bayi
extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat berlanjut
apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS
yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur
36-48 jam. Gejala dapat
memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi
stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir
minggu pertama.2,3,4,24,25
3.3.
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut )
dapat terjadi :24
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi
kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis
hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat
timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena
tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2 respirasi.
3. Perdarahan
intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler
terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS
dengan ventilasi mekanik.
4
PDA
dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan
RDS
terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan
oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit
dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi
jangka panjang yang sering terjadi :
1.
Bronchopulmonary
Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian
oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan
pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi
sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,
komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
SURFAKTAN
Suatu bahan senyawa kimia
yang memiliki sifat permukaan aktif. Surfaktan pada paru manusia merupakan
senyawa lipoprotein dengan komposisi yang kompleks dengan variasi berbeda
sedikit diantara spesies mamalia. Senyawa ini terdiri dari fosfolipid (hampir
90% bagian), berupa
Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan
protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). DPPC murni tidak dapat bekerja dengan
baik sebagai surfaktan pada suhu normal badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain
(mis. fosfatidil-gliserol) dan juga memerlukan protein surfaktan untuk mencapai
air liquid-interface dan untuk penyebarannya keseluruh permukaan.3,12,30
Surfaktan
dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan
pada gestasi 24-26 minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu.
Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol
yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat
lebih dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh
stres, atau oleh pengobatan deksamethason
yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi dengan
defisiensi surfaktan. Karena paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion,
maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan
paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion.
Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh lainnya kecuali
paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan bertambahnya gestasi, sedangkan
sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S biasanya 1:1 pada gestasi 31-32
minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35 minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih
dianggap fungsi paru telah matang sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan
menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus
mengecil, surfaktan yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian
mencegah kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah
penyebab terjadinya atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya
distres pernafasan pada 24-48 jam pasca
lahir.3,30,31
4.1.
Fungsi Surfaktan
Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan bahwa tegangan permukaan paru
lebih rendah dari cairan biologi normal karena menemukan adanya perbedaan
elastisitas pada paru-paru yang terisi udara dan terisi larutan garam ( saline
). Disebutkan juga bahwa
tegangan permukaan adalah lebih penting dari kekuatan elastisitas jaringan
untuk kekuatan penarikan paru pada saat mengembang.12,42,43
Tegangan permukaan antara air-udara alveoli
memberikan kekuatan penarikan melawan pengembangan paru. Hukum Laplace
menyatakan bahwa perbedaan tekanan antara ruang udara dan lapisan (P) tergantung hanya pada tegangan permukaan (T) dan jarak
dari alveoli (P = 2T /r). Kekuatan
sebesar 70 dynes/cm2 menghasilkan hubungan antara cairan – udara
dalam alveoli dan dengan cepat akan menyebabkan kolapsnya alveoli dan kegagalan
nafas jika tidak berlawanan.12
Pada tahun 1950, Clements dan Pattle
secara independen mendemonstrasikan adanya ekstrak paru yang dapat menurunkan
atau mengurangi tegangan permukaan fosfolipid paru. Beberapa tahun berikutnya
yaitu pada tahun 1959 Avery dan Mead menyatakan bahwa RDS pada bayi prematur disebabkan adanya defisiensi bahan
aktif permukaan paru yang disebut surfaktan paru.
Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan
alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan
selaput fosfolipid cair, yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara
air-udara dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap
terbuka selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada
saat akhir ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran cairan
adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan menyebabkan
akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan dalam
meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari paru.
Setelah beberapa percobaan dengan pemberian surfaktan aerosol
pada bayi-bayi RDS tidak berhasil , dilakukan percobaan
pemberian surfaktan secara intratrakeal
pada bayi hewan prematur. Pada
tahun 1980 Fujiwara dkk melakukan uji klinik pemberian preparat surfaktan
dari ekstrak paru sapi (Surfaktan TA)
pada 10 bayi dengan RDS berat. Penelitian secara randomized controlled trials dengan sampel kecil pada tahun 1985
dengan memberikan preparat surfaktan dari lavas alveoli sapi atau cairan amnion
manusia memberikan hasil yang signifikan
terhadap penurunan angka kejadian pneumothorax
dan angka kematian .
Penelitian-penelitian yang dilakukan di berbagai pusat penelitian pada
tahun 1989 menyatakan tentang keberhasilan tentang menurunnya angka kematian
dan komplikasi dari RDS di amerika. Pada tahun 1990 telah disetujui penggunaan
surfaktan sintetik untuk terapi RDS di amerika, dan tahun 1991 disetujui penggunaan
terapi surfaktan dari binatang.12.38.42.43
4.2.
Komposisi Surfaktan Paru
Surfaktan
paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan disekresi oleh sel
alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada lapisan epithel.
Surfaktan paru merupakan senyawa
komplek yang komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein. Secara
keseluruhan komposisi lipid dan fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari
bermacam-macam spesies binatang yang komposisinya hampir sama. Pada manusia phosphatidylcholine
mengandung hampir 80% total lipid, yang separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein
dimana sekitar separuhnya merupakan protein spesifik surfaktan dan
sisanya protein dari plasma atau jaringan paru. Fosfolipid surfaktan terdiri
dari 60% campuran saturated
phosphatidylcholine yang 80%
mengandung
dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran unsaturated phosphatidylcholine, dan
15% phosphatidylglycerol dan
phosphatidylinositol dan
sejumlah kecil phosphatidylserine, phosphatidylethanolamine
,sphingomyeline, dan glycolipid.(dikutip
dari Dobbs, 1989; Van Golde, 1988; Wright and Clements, 1987). Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen
penting untuk menurunkan tegangan permukaan antara udara dan cairan pada alveolus
untuk mencegah kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi. Pada tahun 1973
menurut King dkk,dan Possmayer, 1988 terdapat 4 macam protein spesifik
surfaktan dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Keempat macam protein tersebut adalah SP-A, SP-B, SP-C dan SP-D.
Protein tersebut didapat dari cairan lavage
bronkoalveoli ( BALF) dan dengan
tehnik ultrasentrifugasi serta pemberian pelarut organik kaya lemak, dapat
dipisahkan dan dibedakan menjadi dua golongan yaitu hydrofobik dengan berat
molekul rendah SP-B dan SP-C, sedangkan SP-A dan SP-D merupakan hidrofilik
dengan berat molekul tinggi.12,31,38
4.3.
Sintesa dan Sekresi Surfaktan
Surfaktan
paru disintesa dalam sel alveoli type II, satu dari dua sel yang ada dalam epithel
alveoli. Surfaktan fosfolipid terbugkus dengan surfaktan protein B dan C dalam lamelar bodies yang disekresi dalam rongga udara dengan cara
eksositosis ( gambar 1 ). Secara
ekstraseluler, fosfolipid dan lamelar bodies berinteraksi dengan SP-A
dan kalsium untuk membentuk tubular myelin
yang merupakan bentukan suatu bahan kaya lemak dari lapisan tipis
fosfolipid yang terdiri dari lapisan
tunggal dan lapisan ganda yang dihasilkan antara permukaan udara-air. Lapisan
tipis monomolekuler menurunkan kekuatan tegangan permukaan yang cenderung
mambuat kolapnya paru. Dalam kondisi normal, sebagian besar surfaktan berada
dalam rongga alveoli yang merupakan bentuk fungsional aktif dalam jumlah besar
( large aggregates (LA), dengan sisa yang ditemukan dalam
bentuk kantong surfaktan kecil atau dalam jumlah kecil (small aggregrates (LA) yang mengandung bahan degradasi. Surfaktan dibersihkan dengan pengambilan
kembali oleh sel type II, kemudian keduanya akan mengalami degradasi oleh
marofag alveoli dan sebagian kecil berada dalam
saluran pernapasan dan melintasi
barier epithel-endothel.12,25,38,42,43
Lebih dari 40 tahun yang
lalu, banyak penelitian yang dilakukan untuk mengenali peranan surfaktan dalam
menurunkan tegangan permukaan antara udara-cairan dan perjalanan penyakit RDS pada bayi prematur. Gejala defisiensi surfaktan ditandai adanya
atelektasis, kolaps alveoli, dan hipoksemia. Pemberian secara intratrakeal
surfaktan eksogen yang merupakan campuran SP-B, SP-C, dan fosfolipid merupakan
kriteria standard untuk terapi bayi dengan RDS
. Campuran surfaktan ini bekerja dengan cepat untuk meningkatkan pengembangan dan volume paru, dengan hasil
menurunnya kebutuhan oksigen dan ventilasi tekanan positip. Keefektifan terapi
surfaktan kemungkinan disebabkan karena menurunnya tegangan permukaan dan pengambilan
kembali partikel surfaktan dari epitel saluran napas. Penggunaan terapi
surfaktan dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian tetapi kurang signifikan untuk barotrauma dan penyakit paru kronik.25,38
4.4.
Jenis Surfaktan
Terdapat
2 jenis surfaktan , yaitu :3,29
- Surfaktan
natural atau asli, yang berasal dari manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu seksio sesar
dari ibu dengan kehamilan cukup bulan
- Surfaktan
eksogen barasal dari sintetik dan biologik
* Surfaktan eksogen sintetik terdiri
dari campuran Dipalmitoylphosphatidylcholine
(DPPC), hexadecanol, dan tyloxapol yaitu Exosurf
dan Pulmactant ( ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan Phosphatidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama di
pasarkan di amerika dan eropa.2,5 Ada 2 jenis surfaktan sintetis
yang sedang dikembangkan yaitu KL4
(sinapultide) dan rSPC (
Venticute), belum pernah ada penelitian
tentang keduanya untuk digunakan pada bayi prematur
* Surfaktan eksogen semi sintetik,
berasal dari campuran surfaktan paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), tripalmitin, dan palmitic misalnya
Surfactant TA, Survanta
* Surfaktan eksogen biologik yaitu
surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan
yang diambil dari paru babi adalah
Curosurf
Saat ini ada 2 jenis surfaktan di indonesia
yaitu :3
·
Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC
, hexadecanol, dan tyloxapol.
·
Surfanta dibuat dari paru anak sapi, dan mengandung
protein, kelebihan surfanta biologi dibanding sintetik terletak di protein.
PEMBERIAN SURFAKTAN PADA
BAYI PREMATUR DENGAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Pemberian surfaktan merupakan salah
satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu
natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein,
dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di
bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik.
Surfaktan paru merupakan pilihan
terapi pada neonatus dengan RDS
sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid
netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan
derifat binatang mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D,
menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan
surfaktan binatang (Bernhard et al, 2000).29,30
Human
surfaktan dibuat dari 100ml cairan amnion yang bersih (tidak mengandung
mekonium dan darah) yang diambil pada proses sectio sesar dan dapat
menghasilkan 1 gram surfaktan (Robertson,1987). Karena proses pembuatannya yang
sulit dan adanya resiko blood borne
viruses maka penggunaanya sangat terbatas.Hasil dari studi meta
analisis dengan Randomised Control Trial
(Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40% menurunkan angka kematian dan
30-70% menurunkan insiden
pneumothorax pada RDS , akan tetapi surfaktan
yang diberikan pada komplikasi prematur ( chronic
lung disease , patent ductus
arteriosus , retinopathy premature ) memberikan efek yang tidak memuaskan.
Semua golongan surfaktan
secara in vitro menurunkan tegangan permukaan, terutama terdapat pada
surfaktan kombinasi protein,
dapat menurunkan pemakaian
kebutuhan oksigen dan ventilator dengan
cepat. Pada suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan derifat binatang dengan surfaktan
sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang terdaftar dalam 16 penelitian
random, 11 penelitian memberikan hasil yang signifikan bahwa surfaktan derifat
binatang lebih banyak menurunkan angka
kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas protein
(Soll and Blanco, 2003). Golongan
derifat binatang yang sering digunakan pada meta-analisis adalah Survanta.
Beberapa studi membandingkan efektifitas antara surfaktan derifat binatang, dan yang sering
dibandingkan pada golongan ini adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh Speer dkk (1995)
yang membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf dosis 200 mg/kg, pada
bayi dengan RDS yang diberi
terapi Curosurf 200 mg/kg memberikan hasil perbaikan gas darah dalam waktu 24 jam. Penelitian lain
oleh Ramanathan dkk (2000) dengan dosis Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan Survanta dosis 100mg/kg
dengan parameter perbaikan gas
darah menghasilkan perbaikan yang lebih
baik dan cepat pada terapi Corosurf
dengan kedua dosis tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan data
yang lengkap pada jurnalnya. Data tentang penggunaan terapi surfaktan sintetik
masih terbatas. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan Sinha dkk,2003
secara randomised trial antara
Surfaxin dan Curosurf menunjukkan
rata-rata angka kesakitan dan kematian yang sama diantara kedua obat tersebut,
akan tetapi penelitian ini banyak dikritik sehingga dihentikan lebih awal oleh
Badan Penelitian setelah lama mendapatkan pasien dan sampai saat ini studi tentang kedua obat tersebut masih
kesulitan memperoleh pasien.29
5.1.
Dosis dan Cara Pemberian Surfaktan
Dosis
yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai 200mg/kg. Dengan dosis
100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi
dan ventilasi yang baik, dan menurunkan
angka kematian neonatus
dibandingkan dosis kecil, tapi dosis yang lebih besar dari 100mg/kg tidak memberikan keuntungan tambahan.
Membaiknya oksigenasi dan ventilasi lebih cepat dengan dosis 200mg/kg
dibandingkan dosis 100mg/kg,tetapi pada
penelitian yang dilakukan pada babi dengan
RDS berhubungan dengan meningkatnya
perubahan aliran sistemik dan aliran darah ke otak ( dikutip dari Moen,dkk 1998
). Saat ini dosis optimum surfaktan yang digunakan adalah 100mg/kg.29
Sampai
saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus intratrakeal, karena
diharapkan dapat menyebarkan sampai saluran napas bagian bawah. Penyebaran
surfaktan kurang baik pada lobus bawah sehingga dapat menyebabkan penyebaran
yang kurang homogen (Oetomo,dkk 1990). Dengan pemberian secara bolus dapat mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan
sistemik secara fluktuatif (Wagner,dkk 1996). Pemberian secara perlahan-lahan
dapat mengurangi hal tersebut tapi dapat
menyebabkan inhomogen yang lebih besar dan memberikan respon yang kurang baik (Segerer,dkk
1996). Menurut Henry,dkk 1996 pemberian
surfaktan secara nebulasi mempunyai
beberapa efek samping pada jantung dan pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan sampai
ke paru-paru. Berggren,dkk 2000 mengatakan bahwa pemberian secara nebulasi pada
neonatus kurang bermanfaat. Cosmi,dkk
1997 mengusulkan pemberian secara intra amnion akan tetapi tehnik tersebut
sulit karena harus memasukkan catheter pada nares anterior fetus dengan bantuan
USG dan penggunaan aminophilline pada
ibu hamil tidak dianjurkan.33
Pemberian secara injeksi bolus
merupakan methode yang optimal, beberapa kelompok melakukan studi tentang variasi dari methode
ini. Zola,dkk 1993 menyatakan bahwa pemberian survanta 2ml/kg sebanyak dua kali
menyebabkan terjadinya reflux up endotracheal tube dibandingkan pemberian
1ml/kg sebanyak empat kali tapi pemberiannya membutuhkan waktu yang lebih lama.
Menurut Valls-i-Soler dkk,1997 pemberian
surfaktan via lubang samping endotracheal tube tidak menurunkan kejadian
bradikardi dan atau hipoksia, tapi menurut Valls-i-Soller dkk,1998 kedua lubang
endotrakeal tube dapat digunakan. Perbaikan oksigenasi yang cepat karena pengaktifan alveoli dan peningkatan functional
residual capacity (FRC). Menurut Vender dkk, 1994 continuous capacity airway
pressure (CPAP) juga meningkatkan FRC dan
penggunaan lebih awal dengan atau tanpa surfaktan menurunkan kebutuhan
pemakaian ventilasi selanjutnya.33
Percobaan awal yang dilakukan oleh Ten
Centre Study Group,1987 dengan variasi dosis interval 1 jam, sedangkan dosis interval 12 jam telah dilakukan oleh
Speer,dkk 1992 dan dengan kriteria apakah bayi tetap memakai ventilasi dengan
oksigen sesuai dengan kebutuhannya untuk memutuskan apakah bayi tersebut akan
menerima dosis tambahan. Meskipun jadwal pemberian dosis ditingkatkan, beberapa
surfaktan eksogen memakai interfal dosis setiap 12 jam. Perbaikan klinis tergantung dari dosis terapi masing-masing
individu, dimana menurut Kattwinkel, dkk 2000 menyatakan bahwa bayi dengan
ventilasi ringan dan RDS tanpa komplikasi diberikan terapi tanpa menggunakan dosis tambahan, sedangkan Figueras Aloy, dkk 2001 menyatakan bahwa pada
kasus yang berat, perbaikan klinis tergantung pada dosis tambahan yang
diberikan sejak awal.29
Surfaktan
eksogen mempunyai dosis dengan variasi volume yang berbeda, Curosurf dengan
dosis 100 mg/kg volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan dosis 100 mg/kg
dengan volume 4 ml. Dalam praktek,Curosurf lebih mudah diberikan sedangkan
Survanta diberikan dengan dosis terbagi. Menurut van der Bleek dkk, 1993 bahwa
volume yang besar penyebarannya lebih homogen.29,30
Surfaktan diberikan secara
intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT) dengan bantuan NG tube. Cateter (NG
tube) dapat dimasukkan tanpa melepas ventilator dengan melalui lubang penghisap
sekret pada ETT. Sebagai alternatif, NGT
dapat dimasukkan dengan terlebih dahulu
melepas dengan cepat sambugan antara ETT dengan
slang ventilator.
Dosis diberikan secara
terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya homogen sampai ke lobus paru bagian
bawah. Setiap seperempat dosis diberikan dengan posisi yang berbeda. Sebelum
surfaktan dimasukkan ke dalam ETT melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada
posisi yang benar dan ventilator di atur pada kecepatan 60x/menit, waktu
inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0.
ETT dilepaskan dari ventilator dan kemudian :
1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah
kepala menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis
kepala menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis
pertama melalui NGT selama
2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik,
2. Kepala
dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah
kepala menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis
kepala menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis
kedua melalui NGT selama
2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan
lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
3. Kepala dan badan bayi
dimiringkan 5°-10° ke atas kepala
menoleh ke kanan, masukkan
surfaktan seperempat dosis
ketiga melalui NGT selama 2-3
detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik,
4. Kepala dan badan bayi
dimiringkan 5°-10° ke atas kepala
menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis
keempat melalui NGT selama
2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik,
DOSIS SURFAKTAN
Berat Badan
(gram)
|
Dosis Total
(ml)
|
Berat Badan
(gram)
|
Dosis Total
(ml)
|
600-650
|
2.6
|
1301-1350
|
5.4
|
661-700
|
2.8
|
1351-1400
|
5.6
|
701-750
|
3.0
|
1401-1450
|
5.8
|
751-800
|
3.2
|
1451-1500
|
6.0
|
801-850
|
3.4
|
1501-1550
|
6.2
|
851-900
|
3.6
|
1551-1600
|
6.4
|
901-950
|
3.8
|
1601-1650
|
6.6
|
951 - 1000
|
4.0
|
1651-1700
|
6.8
|
1001-1050
|
4.2
|
1701-1750
|
7.0
|
1051-1100
|
4.4
|
1751-1800
|
7.2
|
1101-1150
|
4.6
|
1801-1850
|
7.4
|
1151-1200
|
4.8
|
1851-1900
|
7.6
|
1201-1250
|
5.0
|
1901-1950
|
7.8
|
1251-1300
|
5.2
|
1951-2000
|
8.0
|
Pemberian dosis dapat diulang sebanyak
4x dengan interval 6 jam dan diberikan dalam
48 jam pertama setelah lahir
5.2. Profilaksis surfaktan dan terapi
Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang
penting dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur.
Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan,
apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome . Alasan
yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis berhubungan dengan
epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan dalam beberapa menit
setelah pemberian ventilasi. Hal ini menyebabkan kebocoran protein pada
permukaan sehingga mengganggu fungsi surfaktan. Beberapa penelitian dengan
binatang menyebutkan bahwa terapi surfaktan yang diberikan segera setelah lahir
akan menurunkan derajat beratnya RDS dan kerusakan jalan napas, meningkatkan
gas darah, fungsi paru dan kelangsungan hidup. Beberapa percoban klinik
menunjukkan bahwa terapi surfaktan untuk bayi prematur sangat bermanfaat dan
aman. Sepuluh pusat penelitian dari ALEC menggunakan surfaktan sebagai terapi
profilaksis, dan disebutkan terjadi penurunan insiden RDS sebanyak 30%
dibandingkan kontrol dan menurunkan angka kematian sebasar 48% tanpa efek
samping.33
Tidak
mungkin bisa memprediksi bayi prematur yang akan terkena RDS atau tidak
sehingga sejauh ini terapi surfaktan masih sangat bermanfaat. Rendahnya masa
gestasi merupakan penyebab meningkatnya
RDS, tetapi pada bayi dengan masa
gestasi yang lebih tua dapat juga beresiko terkena RDS dan komplikasinya.
Beberapa alasan yang dikemukakan
tentang tidak diberikannya surfaktan pada saat bayi prematur lahir (sebagai
profilaksis) karena dianggap memberikan surfaktan yang tidak perlu pada
beberapa bayi yang tidak terkena RDS
, disamping itu harganya mahal sehingga sebaiknya digunakan bila memang benar
diperlukan. Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa pemberian surfaktan dini
mungkin dapat membahayakan sehingga hanya diberikan pada RDS yang berat. Ada juga yang berpendapat
bahwa pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur lahir dapat mempengaruhi
resusitasi dan stabilisasi bayi. Bila pemberian surfaktan sama efektifnya jika
diberikan beberapa jam setelah lahir, maka pemberian surfaktan dini yaitu
segera setelah lahir menjadi tidak relevan.33
Cochrane meta analysis (
Soll and Morley, 2003 ) menyatakan bahwa
yang disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu
pertolongan pertama pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal
tube. Sedangkan sebagai terapi bila surfaktan diberikan beberapa jam setelah
lahir atau setelah ada gejala RDS . Pemberian
surfaktan profilaksis dapat menurunkan angka kematian, dan pneumothorax tetapi
mempunyai efek yang ringan pada komplikasi yang lain pada bayi prematur. Yost
dan Soll, 2003 menyatakan bahwa ada data
yang menunjang tentang pemberian awal (profilaksis) lebih baik daripada
pemberian yang lebih lambat. Beberapa uji klinik memberikan informasi yang
berbeda tentang pengaruh pemberian dua surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi, dan beratnya
gejala RDS. Semua uji coba menunjukkan
perbaikan dalam pertukaran gas, dan beratnya RDS dengan menggunakan surfaktan
profilaksis. Dunn dkk, menyebutkan bahwa terjadi perbaikan yang signifikan
dalam pertukaran gas pada kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kendig dkk, menyatakan bahwa bayi yang
diberi terapi profilaksis membutuhkan tambahan oksigen yang lebih rendah dan
bantuan ventilasi dalam 72 jam pertama serta didapatkan RDS yang tidak berat.
Egberts dkk, menyatakan bahwa terapi surfaktan pada saat lahir berhubungan
dengan oksigenasi yang baik dalam 6 jam,
meningkatnya tcPO2 : FIO2 dari rasio 39,7 ke 28,1 dan 41% membaik pada kelompok
dengan terapi dini. Kelompok terapi profilaksis menerima oksigen > 40% dalam
jangka pendek. Ada
penurunan insiden dari RDS berat. Kattwinkel dkk, menunjukkan bahwa surfaktan profilaksis
berhubungan dengan rendahnya angka kejadian RDS sedang, terutama pada bayi
dengan masa gestasi kurang dari 30 minggu. Disamping itu dapat menurunkan
pemakaian oksigen dan ventilasi yang cenderung berlebihan pada beberapa hari
pertama setelah lahir, menurunkan tekanan jalan napas rata-rata lebih dari 48
jam pertama untuk bayi dengan ventilasi dan beberapa bayi membutuhkan tambahan
oksigen sampai 28 hari. Walti dkk, menyatakan bahwa dalam 3-72 jam setelah
lahir, kelompok profilaksis mempunyai pH tinggi, dan rasio PaO2: FIO2
serta rasio a: ApO2 tinggi dan
menurunnya FIO2, begitu juga dengan frekuensi pernapasan, peak inspiratory
pressure, dan mean airway pressure. Menurut Bevilacqua dkk, FIO2 maksimum turun
selama 28 hari pertama pada bayi yang diberi profilaksis dibandingkan kelompok
kontrol. Tidak ada satupun dalam uji klinik pemberian surfaktan profilaksis
yang memberikan efek merugikan pada saat pemberian maupun sesudahnya 22,33.
Pada penelitian yang
dilakukan oleh kelompok studi penelitian neonatus di Texas tentang keberhasilan
dan keselamatan pemberian surfaktan dini terhadap 132 bayi RDS ringan sampai sedang dengan berat ≥ 1250 gram, masa gestasi ≤
36 minggu, usia postnatal 4 -24 jam . Dalam peneltian ini disebutkan bahwa
tanpa pemberian surfaktan dini, didapatkan hanya 43% bayi RDS yang memakai
ventilasi, dan dalam waktu singkat yaitu 31 jam. Secara keseluruhan disebutkan
bahwa
pemberian rutin yang direncanakan pada
bayi prematur, tidak direkomendasikan.34
PENUTUP
Respiratory Distress Syndrome (penyakit
membran hialin) merupakan penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian
pada bayi prematur. Hal ini disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga
agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang
paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan merupakan
salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.
Berdasarkan
penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan angka
kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi profilaksis bila
surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi prematur yang baru
lahir melalui endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat
tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi
prematur) atau setelah ada gejala Respiratory
Distress Syndrome. Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian
profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami
kerusakan dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Honrubia.D;
Stark.AR. Respiratory Distress Syndrome. Dalam : Cloherthy J, Eichenwald EC,
Stark AR,Eds. Manual of Neonatal Care,edisi 5. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins,2004:341-61.
2.
Rennie
JM, Roberton NRC. Respiratory Distress Syndrome. Dalam A Manual of Neonatal
Intensive Care, Edisi 4.London ; Arnold, 2002:128-78.
3.
Pusponegoro
TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindrom Gawat Nafas Neonatal. Continuing
Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, Nopember 1997; 89-96
4.
Jobe.A.
Pulmonary Surfactant Therapy. N Engl J
Med 1993;328:861-68
5.
Gomella
TL, Cunningham.MD, Eyal.FG, Eds. Hyaline Membran Disease (Respiratory Distress Syndrome) .Dalam
Neonatology-Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs; Edisi 5. McGraw-Hill.Co,2004;539-43.
6.
Indarso
F. Kegawatan nafas pada bayi baru lahir, respiratory distress syndrome
resusitasi awal dan lanjut: Dalam Forum Komunikasi Ilmiah ( FKI ) Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK.Unair/RSUD Dr. Soetomo , 17 Pebruari 1999,1-6
7.
Damanik
MS, Indarso F, Harianto A, Etika.R Masalah Perawatan Pada Bayi Prematur. Pelatihan Perawatan Neonatologi, 8 Maret – 8
Mei 2004, 1-12.
8.
Anonimous.
Premature infant. dari : www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article
2002. Updated nopember 16,2002.
9.
Graham.P.
Premature infant. dari: www.merck
manual.com. Updated december
22,2002 .
10. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW.
Intrauterine Infection and preterm delivery. N Engl J Med 2000,342:1500-07.
11. Peltier.RM. Immunology of term and
preterm labor. In: Reproductive Biology and Endocrinology 2003
12. Poynter.S, Marie Ann. Surfactan biology and clinical
application. Crit Care Clin, 2003;19:459-73.
13. Dawn LD, Neil NF. Recent advances in
the management of lung disease of prematurity. Fetal and Maternal Review 2001,12;4:229-48
14. Kotecha.S. Lung growth: implications
for the newborn infant. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2000;82:69-74
15. Burri. PH. Structural aspects of prenatal and
postnatal development and growth of the lung. In: Lung Growth and Development.
Edited by McDonald JA. New York :
Marcell Dekker Inc,1997:1-35.
16. Jobe AH, Ikegami M. Antenatal
infection/inflammation and postnatal lung maturation and injury. Repir Res 2001,2:27-32
17. Haworth.S, Hislop.A. Lung
development-the effect of chronic hypoxia. Seminars in Neonatology, 2003;1-8.
18. Cosmi.EV. Fetal lung maturity tests.
In: Prenat Neonat Med 2001;21-30.
19. Scarpelli.M. Fetal lung maturity tests
assess the capacity to form surfactant foam films at birth. Prenat Neonat Med
2001;15-20.
20. Anceschi MM, Breart G. Guidelines on
fetal lung maturity tests. Prenat Neonat Med 2001;6:75-7.
21. Ware.L, Matthay.M. The acute
respiratory distress syndrome. Dari : http;//www.N Engl J Med org. pada tgl 2 april 2005 .
22. Colin M, Peter D. Surfactant treatment
for premature lung disorders: A review of best practices in 2002. Paed Respiratory Review 2004,299-304.
23. Michael SD, Maureen CR. Aproaches to
the initial respiratory management of preterm neonates. Paediatric Respiratory
Review 2003, 2-8.
24. Pramanik.A.MD.Respiratory Distress
Syndrome.dari :http://www.emedicine.com/topic 1993
htm updated july 2,2002 .
25. Wright Jo. Pulmonary surfactant: a
front line of lung host defense.dari :http://www.pediatrics.com/
updated juny 4, 2003.
26. Cedric.H. Lung Epithellium - specific
proteins characteristics and potential applications as markers. Am J Respir
Crit Care Med,1999;159:646-78.
27. Mason.R. Pulmonarry Cell Biology. Am.
J. Respir Crit Care Med,1998;157:72-81.
28. Goldenring.J. Respiratory Distress
Syndrome. dari :www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article. Updated july 15, 2004 .
29. Ainsworth.SB, McCormack.K. Exogenaus
surfactant and neonatal lung disease : An update on the curent situation.
Journal of neonatal nursing, 2004;10;1:6-11.
30. Morley.C, Davis.P. Surfactant
treatment for premature lung disorders: A review of best practices in 2002. In
Paediatric Respiratory Reviews, 2004;299-304
31. Worthman.L. Surfactan Protein A (SP-A)
affects Pulmonary Surfactant Morphology and Biophysical Properties. Department
of Biochemistry Memorial University of Newfoundland, St. John’s , Newfoundland ,1997;1-130.
32. Finer.N. Surfactant use for neonatal
lung injury: beyond respiratory distress syndrome. Paediatric Respiratory
Reviews 2004;289-97.
33. Morley.CJ. Systematic review of
prophylactic vs rescue surfactant. Arch.Dis.Child. Fetal Neonatal Ed.
1997;77;70-74.
34. The Texas Neonatal Research Group. Early
surfactant for neonates with mild to moderate respiratory distress syndrome: a
multicenter, randomized trial. J Pediatr 2004; 144: 804-8.
35. Malloy, JL,
Veldhuizen RA, McCormack FX, Korfhagen TR, Whitsett JA, and Lewis JF. Pulmonary surfactant and inflammation
in septic adult mice: role of surfactant protein A. J Appl Physiol 2002;92:809-16.
36. Hudak ML, Farrell EE, Rosenberg AA, A
multicenter randomized, masked comparison trial of natural versus synthetic
surfactant for the treatment of respiratory distress syndrome. J
Pediatr 1996;128:396-406
37. Lawson. PR, Reid. K.B.. The roles of
surfactant proteins A and D in innate immunity. Immunol. Rev. 2000;173:66-78
38. Griese. M. Pulmonary surfactant in
health and human lung diseases: state of the art. Eur. Respir. J. 1999;13:1455-76.
39. Madsen. J. Localization of lung
surfactant protein D on mucosal surfaces in human tissue. J. Immunol. 2000; 164: 5866-70.
41. Saugstad.OD, Bevilacqua.G, Katona.M.
Surfactant therapy in the newborn. Prenat Neonat Med 2001, 6:56-8.
42. Crouch E, Wright JR. Surfactan
proteins A and D and pulmonary host defense. Annu Rev Physiol 2001;63:521-54.
43. Gunther A, Ruppert C, Schmidt R.
Surfactant alteration and replacement in acute respiratory distress syndrome.
Respir Res 2001;2:353-64.
44. Bermanshah E. Pencitraan pada
kegawatan neonatus. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II (Continuing Medical
Education) IDAI JAYA 2005;59-74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar